mau BISNIS online gratis

Sunday, April 18, 2010

Manajemen Waktu Salaf

Ibn Chaldn January 23 at 9:10pm
Ibnul Qayyim berkata,” Tahun adalah batang pohon, bulan-bulan adalah dahannya. Hari-hari adalah ranting rantingnya. Jam-jam adalah daun-daunnya. Dan nafas nafas adalah buah buahnya. Barangsiapa nafas-nafasnya untuk ketaatan, maka buah pohonnya adalah baik. Dan barangsiapa nafas-nafasnya untuk kemaksiatan, maka buahnya adalah hanzhal (buah terpahit). Musim panennya adalah hari pembalasan. Pada saat panen itulah akan jelas mana buah yang manis dan mana buah yang pahit. Kira kira bagaimana buah dari umur kita manis atau pahit?”

Untuk menjawab pertanyaan Ibnul Qayyim, marilah kita bertamasya ke “kebun kebun” ulama salaf (zaman dulu) dan memetik buah-buahan aneka warna dan sedap rasa dari pohon-pohon rindang nan hijau elok dipandang mata. Ulama salaf telah mewariskan khazanah ilmu pengetahuan dan teladan yang mencengangkan dunia. Salafush shalih berhasil menorehkan contoh mengagumkan dalam memanfaatkan detik detik umur dalam setiap hembusan nafas untuk amal kebajikan.


Ibn Chaldn January 23 at 9:10pm Reply
Ibnul Qayyim berkata,” Tahun adalah batang pohon, bulan-bulan adalah dahannya. Hari-hari adalah ranting rantingnya. Jam-jam adalah daun-daunnya. Dan nafas nafas adalah buah buahnya. Barangsiapa nafas-nafasnya untuk ketaatan, maka buah pohonnya adalah baik. Dan barangsiapa nafas-nafasnya untuk kemaksiatan, maka buahnya adalah hanzhal (buah terpahit). Musim panennya adalah hari pembalasan. Pada saat panen itulah akan jelas mana buah yang manis dan mana buah yang pahit. Kira kira bagaimana buah dari umur kita manis atau pahit?”

Untuk menjawab pertanyaan Ibnul Qayyim, marilah kita bertamasya ke “kebun kebun” ulama salaf (zaman dulu) dan memetik buah-buahan aneka warna dan sedap rasa dari pohon-pohon rindang nan hijau elok dipandang mata. Ulama salaf telah mewariskan khazanah ilmu pengetahuan dan teladan yang mencengangkan dunia. Salafush shalih berhasil menorehkan contoh mengagumkan dalam memanfaatkan detik detik umur dalam setiap hembusan nafas untuk amal kebajikan.

Tradisi Belajar Ulama Salaf

Membaca adalah kebiasaan para ulama dan orang orang shalih bahkan ketika mereka menghadiri berbagai walimah dan pertemuan. Al-Fath bin Khaqan selalu membawa kitab (buku) di saku bajunya. Apabila dia meninggalkan majlis untuk shalat atau kencing, dia mengeluarkan kitab dan membacanya sambil berjalan hingga dia sampai di tempat tujuan. Kemudian dia melakukan hal yang sama pada saat dia kembali kemajlisnya.

Tsa’lab (seorang imam qira’ah) tidak pernah berpisah dari kitabnya. Apabila dia diundang kesebuah walimah, dia mensyaratkan agar diletakkan tempat selebar kulit domba sebagai tempat kitab yang akan dibacanya. An-Nadhr bin Syumail berkata, “seseorang tidak akan bisa merasakan nikmatnya belajar, sampai dia lapar dan melupakan laparnya.”

Beberapa orang berkata kepada Abdullah bin Mubarak “Ketika engkau telah menunaikan shalat, mengapa engkau tidak duduk bersama kami? Dia menjawab, “Saya pergi untuk duduk bersama para sahabat dan tabi’in”. Mereka bertanya, “dimana mereka?”. Dia menjawab, “Saya pergi lalu membaca kitab kitab, maka saya mengetahui amal amal dan keteladanan mereka. Apa yang bisa saya lakukan bersama kalian? Sementara kalian hanya duduk membicarakan aib orang lain.”

Abdullah bin Abdul Azis Al-Umairi sering menyendiri di kuburan dengan membawa kitab (buku) untuk dibaca. Dia ditanya tentang itu, diapun menjawab, “Tidak ada nasihat yang lebih mendalam daripada kuburan. Tidak ada teman yang lebih baik daripada kitab. Dan tidak ada yang lebih menjamin keselamatan daripada kesendirian.” Ibn Asakir, selama 40 tahun tidak pernah menyibukkan diri kecuali dengan tasmi’ (mengulang hafalan hafalannya), mengumpulkan, menulis dan menyusun ilmu sampai pada waktu pergi buang hajat atau sambil berjalan.

Seorang dokter mendatangi Abu Bakar al-Anbari dalam keadaan sakit parah. Dokter melihat urine Abu bakar, kemudian berkata, “Anda telah melakukan (sewaktu mesih sehat dan kuat) sesuatu yang tidak dilakukan oleh siapapun.” Lalu dokter menemui keluarganya dan berkata kepada mereka, “hampir tidak ada harapan (dokter pesimis terhadap kesembuhan penyakitnya).” Lalu keluarganya menemui Abu Bakar dan menyampaikan ucapan dokter kepadanya dan bertanya, “Apa yang dahulu anda lakukan?” Abu Bakar menjawab,” Saya menelaah dan membaca setiap minggu sepuluh ribu lembar.” Masya Allah, semangat yang begitu membara.

Seseorang bertanya kepada Imam Syafi’i, “Bagaimana semangat anda dalam menuntut ilmu?. Beliau menjawab, “Ketika mendengar ilmu yang belum pernah saya dapatkan, seakan seluruh tubuh saya mempunyai telinga untuk mendengarnya.” “Bagaimana kesungguhan anda dalam mencari ilmu?”. Beliau menjawab, “Seperti seorang ibu yang mencari anak semata wayang yang hilang entah kemana.”

Majduddin bin Taimiyah apabila masuk WC, berkata kepada kepada orang di sekitarnya “Bacalah kitab ini untukku, keraskanlah suaramu sehingga aku mendengarnya.” Hal ini dia lakukan karena ingin menjaga waktu buang hajatnya tidak sia-sia. Ahmad bin Ali bertanya kepada Abdurrahman bin Abu Hatim Ar-Razi, “Apa penyebab anda banyak mendengar hadits dari bapakmu dan anda banyak bertanya kepadanya?. Dia menjawab,” Mungkin karena ketika dia makan, saya belajar hadits kepadanya. Ketika dia berjalan saya belajar kepadanya. Ketika dia buang hajat, saya belajar kepadanya dan ketika dia masuk rumah mencari sesuatu, saya belajar kepadanya.” Inilah gairah membara yang membuahkan karya monumental Imam Abdurrahman bin Abu Hatim “Aljarh wat ta’dil” dalam 9 jilid besar dan “Al-Musnad” dalam seribu juz (kurang lebih 20 ribu lembar).

Ibn ‘Uqail Al-Hambali berkata, “Tidak halal bagiku untuk menyia-nyiakan sesaat saja dari umurku, sehingga apabila lisanku telah lelah membaca dan berdiskusi, mataku lelah membaca, maka aku menggunakan pikiranku dalam keadaan beristirahat (berbaring diatas tempat tidur). Aku tidak berdiri, kecuali telah terlintas di benakku apa yang akan aku tulis. Dan aku mendapati kesungguhanku belajar

Bahkan kesungguhan Imam Ibn Uqail dalam menjaga waktunya mencapai tingkat yang mengagumkan. Dia berkata, “Aku menyingkat semaksimal mungkin waktu waktu makan, sehingga aku memilih makanan roti basah daripada roti kering (roti basah memerlukan waktu lebih pendek yang cukup untuk membaca 50 ayat, antara 4-5 menit), karena selisih waktu mengunyahnya bisa aku gunakan untuk membaca atau menulis suatu faedah yang sebelumnya tidak aku ketahui.” Kira kira apa yang dikatakan Ibn Aqil kalau dia mendapatkan zaman kita, bahwa kebanyakan manusia menghabiskan waktu yang lama di meja makan sambil bergurau dan berbincang yang tidak ada manfaatnya?

Amir bin Abdul Qais melewati orang orang pemalas dan pengangguran. Mereka duduk berbincang bincang tanpa arah. Mereka berkata kepada Amir, “Kemarilah! Duduklah bersama kami” Amir menjawab,” Tahanlah matahari agar ia tidak bergerak, baru saya akan nimbrung berbincang-bincang dengan kalian.”


Wallahu A’lam bishhsahwab

selengkapnya:
http://www.facebook.com/profile.php?v=feed&story_fbid=301034503592&id=1068054419#/note.php?note_id=261157497953&id=1814704147&ref=nf

No comments:

Post a Comment

pay to click