SEUSAI HUJAN
: Kepada T. Andrian Indra M
Kau bisa menyentuhnya sejenak Pada samar-samar terik senja Bulir-bulir hujan menggelinding di kaca jendela Meluruhkan debu-debu, sisa badai sebelumnya
Dari timur, ia datang Menyuguhkan sebongkah kelam abadi Kemana harus memalingkan muka Agar terenyah dari rasa pahit paling pahit
Demi Tuhan, rasa ini lebih kekal dari yang terkira Dan demi Tuhan, sakit ini lebih abadi pula dari yang terbayangkan Dan jasad ini telah membatu bertahun-tahun lamanya
Banda Aceh, 16.06.2011
ODE LELAKI HUJAN I
Ah, aroma lembab hari ini, serupa aroma engkau yang datang di musim semi Nmun tubuhmu adalah musim hujan yang enggan mongering Engkaulah tanah basah, tempat kembang-bunga bermekaran
Kau musim hujan Ketika jasadku menjadi tandus Mengingatmu, mengingat sepanjang jejak tanah yang pernah kau aku tapaki dulu Seketika menyejuk
Banda Aceh, 16.06.2011
ODE LELAKI HUJAN II
Bagimu, hujan adalah hujaman harapan Kau pernah berharap, bahkan yakin bahwa rindumu tak akan sekelabu cuaca Entah bagaimana dengan rindu yang ada pada lainnya Tengadahkan wajahmu, rasakan haru biru, sejuk kelu, deru bisu, dan rintihan air itu
Bagiku, hujan adalah bait nafas yang menyesakkan Bait rindu yang tak berujung pangkal Bait denyut hidup yang seakan berhenti tiba-tiba
: Entah mengapa, habis mendung turunlah hujan
Banda Aceh, 16.06.2011
DIAM I
Masih saja, kita terpenjara dalam suasana yang diam Atau memenjarakan kata-kata dalam bungkam yang entah sampai kapan Jika engkau masih saja memandangi sendok yang bernari dalam cangkirmu, aku hampir saja menjadi gelap segelap pantulan diriku dalam cangkir kopiku sendiri Engkau dan aku, sama-sama sedang meneriakkan batin dalam diam, bukan? Dan entah berapa rasa yang telah bunuh diri dalam cuaca yang gamang
Banda Aceh, 11.06.2011
DIAM II
Cangkir-cangkir putih telah usai memancarkan kedamaiannya dalam diam Untuk mendamaikan betapa kita telah sekarat menuju ajal : sebuah kesunyian Meski kopi ini menjadi legam, berubah pahit Biarkan pahit itu menjadi rekan bagi kesepian yang amat hangat telah memeluk Tapi jangan sampai berubah asin, sebab hujan ikut campur pula melemaskan ketegangan ini
Banda Aceh, 13.06.2011
DIAM III
Bertemu lagi dengan sore tanpamu Di ambang jendela, kupu-kupu terdiam menjadi bangkai seusai meratapi cangkir yang telah kosong Berjelaga seperti kemelut setelah amarah-caci maki mulai beterbangan mencari udara segar
Sendiri mendiami sunyi, meremas-remas sepi dan terbunuh hujan kemarin Karena seharusnya.. Kita sedang mengaduk-aduk kopi panas, yang diseduh dari hangatnya riuh tawa Sambil memunggungi timur, menghitung mundur, saat-saat senja melumer Tapi kenyataannya, aroma yang timbul dari cangkir kering ini hanyalah aroma kesepian bersama pertanyaan-pertanyaan yang mestinya tak perlu dipertanyakan
Banda Aceh, 16.06.2011
DIAM IV
Seraya aku menghitung jumlah sepi yang diam dalam waktu telah lewat dan akan mampir, aku memandang lelaki di sudut ruang, seperti mengenyahkan kesepiannya juga. Mungkin. Lalu kupikir, mengapa kita tidak berbagi meja saja. Menggenggam cangkir yang damai dan berbagi kesepian. Mungkin bangkai kupu-kupu di ambang jendela itu bisa hidup kembali
Banda Aceh, 16.06.2011
Nona Alisha Husna. Perempuan kelahiran Banda Aceh, 7 Desember 1988 ini memulai hobi menulis sejak duduk di bangku TK. Saat ini menjadi jurnalis di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) salah satu Universitas di Banda Aceh. Bisa ditemui di: nona.alisha@gmail.com.
http://oase.kompas.com/read/2011/06/17/03205664/Puisi-puisi.Nona.Alisha.Husna
Read More..